New York City Oktober 2073
Tangan pria kurus itu mengepal keras, sesekali mulutnya
menyenandungkan do’a. Matanya tajam menelisik setiap baris tulisan rapi yang
terpampang di tablet kecil, di ujung jemari tangannya. Hatinya gamang, namun
mulutnya mantap untuk berucap.
“Biar dunia tahu kami bisa dan kami ada, jadikanlah Allah
pelindung kami”
Pagi itu musim dingin terlalu
cepat hadir di kota New York, USA.
Jakarta
Kemal nampak rapi dengan baju safari yang baru di setrika
istrinya pagi itu. Sambil menunggu sarapan roti panggang matang, dia menyeruput
kopi susu gurih kesukaannya. Matanya lekat menatap layar datar yang menyiarkan
berita nasional.
“ini roti nya mas” seorang wanita muda datang menghampiri
kemal dan membawa roti hangat
“Simpan dulu dik,” dia hanya berkata, pupil matanya tetap
tertuju pada layar datar itu.
“wulan pagi ini berangkat sendiri saja ke sekolah, toh
sepulang mengajar wulan mau membimbing anak kelas 6” wanita muda itu
menambahkan.
“Apa sebaiknya mas antar saja, nanti mas jemput lagi” kali
ini matanya mulai beralih beradu pandang dengan sosok istrinya tersebut. Kemal
tidak tega membiarkan istri tercintanya yang sedang hamil tua, harus berjejalan
dalam bis kota. Walaupun ia tahu wulan adalah seorang perempuan yang mandiri
dan keras kemauannya.
“Tidak usah mas, mas kemal pasti sibuk dengan urusan itu
kan?” mata wulan mengisyaratkan agar suaminya kembali memperhatikan siaran
berita nasional tersebut.
“ya sudah, hubungi mas kalau ada
kesulitan ya” pikiran Kemal kembali fokus dan terbenam dalam setiap ucapan
pembawa siaran.
Jakarta
“Tak mungkin la ini terjadi, it should not be happpened”
seorang pria berperawakan tambun berteriak dalam bahasa melayu english yang
sangat kental.
“ Tak mungkin mereka berani bertindak seperti ni!” dia
kembali berteriak, kali ini kopi hitam di ujung meja ikut bergetar karena
tangannya menghantam meja.
Remote televisi kembali me rewind siaran berita nasional
pagi itu
Terdengar nyaring suara televisi membahana ke setiap sudut
ruangan.
“ Berkas kasus
pengedar obat-obatan terlarang yang tertangkap oleh BNN satu bulan yang
lalu sudah dalam tahap akhir persidangan di pengadilan tinggi” seorang anchor
cantik nampak berbicara.
“Putusan pengadilan tinggi memutuskan bahwa terdakwa Riziq
bersalah dan mendapatkan vonis hukuman mati karena terbukti membawa 5 kg
shabu-shabu siap edar” anchor cantik itu menambahkan.
“Dan Presiden secara resmi melalui juru bicaranya mengatakan
bahwa beliau tidak akan memberikan grasi kepada pelaku kejahatan yang terbukti
bersalah. Apalagi terpidana narkoba, terorisme serta korupsi” giliran pria muda
kelimis menimpali siaran dari anchor wanita tersebut.
“ah sialan!!” pria tambun itu kembali memaki, suaranya
semakin keras membahana di seluruh ruangan.
“Tenang lah Pak cik, it’s negotiable, Pak cik tahu lah negara
ini. Selalu ada ‘lubang’ yang bisa kita sulam” seorang pria berkacamata tebal
berani datang menghampiri, menenangkan pria tambun yang dia panggil Pak Cik
itu.
“it is absolutely ur duty Firman!! You are a lawyer of
mine!” pak cik itu malah semakin keras menghardik.
“iya tuan Malik, saya akan cari
celah” Firman menjawab hardikan itu dengan suara parau, hampir tidak terdengar.
Jakarta
Kemal datang pagi itu ke kantornya agak siang, dia
memutuskan untuk mengantarkan istrinya terlebih dahulu. Dia berpikir biarlah
sekali di tegur atasan, toh dia sudah berprestasi kemarin-kemarin ini.
Kantor kemal adalah gedung berlantai 7 di bilangan jakarta
pusat. Di depan gedung itu terbentang lebar nama kantor “BNN” Badan Narkotika Nasional. Sebuah badan
independen yang bertugas mengurusi dan menangani peredaran narkotika dan
turunannya di republik ini. Setara dengan DEA di USA.
Setelah memarkirkan mobil, Kemal tergesa-gesa melewati pintu
masuk kantor kebanggaannya ini. namun tiba-tiba,“AKP Kemal Hariadi, anda di
panggil oleh Bapak di ruangannya” seorang resepsionis cantik segera menghampiri
Kemal dan menyampaikan pesan padanya.
Kemal terperanjat, dia tidak menyangka urusan telat masuk
seperti ini bisa langsung di ketahui komandan tertingginya di lembaga itu.
Maklum, ketika resepsionis berkata ‘Bapak’, yang dia maksud adalah Kepala BNN
itu sendiri. Tanpa banyak polah, Kemal langsung berlari menuju lift dan
memencet lantai paling tinggi di gedung itu.
Sesampainya di lantai atas, dia langsung dipersilakan masuk
oleh ajudan pribadi Kepala BNN.
“Bapak sudah menunggu Pak” anak muda berperawakan jangkung
membukakan pintu untuk Kemal.
Di ujung ruangan tampak seorang pria sedang menunduk membaca
beberapa berkas dan Kemal memberanikan diri untuk memulai percakapan.
“Siap Selamat Pagi Pak! AKP Kemal Hariadi mohon ijin untuk
menghadap!” sikap tubuh yang tegap dia peragakan dengan sedikit meninggikan
nada suara. Saat itu hatinya gaduh sekali membayangkan atasan tertingginya
datang dan memaki keterlambatannya.
Pria itu memandang dan berkata “Selamat Kemal,,,!Tidakkah
kau lihat berita pagi ini? Orang yang kau ciduk itu mendapat vonis mati
oleh pengadilan tinggi. Kerjamu tidak
sia-sia perwira!”
Tak disangka, Irjen Pol Basuki Wiryawan yang juga kepala BNN
malah berkata dengan suka cita, dia mengucapkan selamat atas vonis yang menimpa
terdakwa pengedar shabu-shabu itu.
“Kerjamu bagus nak, teruskan. Ini akan menjadi kasus besar
bagi republik ini, dan kita tidak pernah tahu akan mengarah kemana selanjutnya”
kali ini tatapan jenderal bintang dua itu menerawang jauh melewati batas
jendela.
“Siap pak, ini berkat petunjuk
dan bimbingan komandan” Dengan menyembunyikan rasa lega, kemal bicara tanpa
mengubah intonasi ucapan, tetap dengan postur tegak dan perwira.
Somewhere in Papua
Di sebuah hutan lebat tanpa cahaya di ujung timur Indonesia.
Hutan hujan tropis yang rimbun, tempat para pohon tinggi berebut membentuk
gurun. Enam orang laki-laki mengendap ngendap bagaikan macan, tanpa suara. Muka
mereka legam oleh arang hitam bekas perapian saat sarapan pagi. Salah seorang
dari mereka perwira paling senior menunjukkan aba-aba untuk berhenti berjalan.
“Buka peta dan bongkar alat navigasi lakukan resection
dimana kita berada sekarang” ia memberi perintah lugas pada salah satu
bawahannya.
“Albert, Deni, Greg, dan Rido, berpencar dengan jarak radius
10 m. Jaga perimeter di empat penjuru mata angin, laksanakan!” dia menambahkan
perintah pada keempat prajurit sisanya.
“Laksanakan kapten!” dalam hitungan detik mereka sudah
lenyap dari hadapan sang kapten.
Kapten itu adalah satu-satunya perwira dalam kelompok kecil
tersebut, ia bernama Kapten Ridwan Siahaan. Mereka semua sudah berjalan hampir
sembilan jam sejak matahari terbit. Tanpa lelah mengendus setiap petunjuk dan
mencatat setiap isyarat. Mereka adalah kesatuan kecil dari pasukan khusus TNI angkatan darat (KOPASSUS) yang ditugaskan
membebaskan tawanan anggota TNI dan 5
warga negara amerika yang telah di culik oleh gerombolan orang tak dikenal.
“Siap kapten lapor!” Letda Hambali petugas yang diberi perintah
untuk mengetahui posisi mereka memulai percakapan.
“Bagaimana Ham?” Kapten Ridwan bertanya tentang hasil
pekerjaan Hambali
“Dari GPS posisi kita sudah terlalu jauh dari perbatasan
dengan PNG (Papua New Guenuea), sekitar 5 kilometer dari tapal batas NKRI kapten”
dengan tegas dan informatif letnan dua kopasus itu menjelaskan posisi pasukan
kecil ini.
“Sial, harusnya aku tahu sejak kita melewati lembah dalam
pukul 11 siang tadi itu” Kapten Ridwan mengutuk dirinya sendiri atas
kecerobohannya itu.
Hutan lebat ini memang seharusnya dia kenali seperti dia
mengenali halaman belakang rumahnya sendiri. Beberapa latihan militer sering dilakukan
di hutan hujan papua ini, rentetan operasi militer pun selalu sukses dilaksanakan,
bahkan sejak mengikuti pendidikan pasukan khusus dia mendapatkan wing penerjun
di kawasan ini. Dia sempat “dibuang” sendiri di atas rimba papua dan nyatanya
masih bernyawa kembali ke Jakarta.
“Perimeter! Kembali ke sini!” melalui radio komunikasi
Kapten Ridwan meminta semua anggota yang menjaga perimeter kembali pada
posisinya.
Setelah semua anggota kelompok kecil berkumpul, dia segera
memberikan perintah yang mengejutkan.
“Buka semua atribut pasukan khusus, tinggalkan SS2 V5
(senapan serbu organik kopassus), setiap orang hanya membawa handgun amunisi seperlunya, dan pisau komando”
Semua orang saling berpandangan dan menatap bertanya-tanya
tentang perintah diluar kewajaran komandan mereka.
“Laksanakan!” dengan tegas Kapten Ridwan menyuruh anak
buahnya melakukan setiap perintahnya
“laksanakan komandan!” mereka segera melucuti setiap atribut
dalam tubuh mereka. lalu menanggalkan seragam loreng darah ciri khas kopassus,
dan beberapa senapan serbu. Hanya berbalut kaus cokelat serta celana loreng
yang sengaja dipotong tigaperempat, bahkan sepatu lars tinggi ditinggalkan.
“Kita jauh berada di belakang
garis musuh, operasi ini lebih rumit dari yang kita duga” berbisik kapten muda
itu menghembuskan penjelasan.
Langley, Virginia Markas Besar CIA
Dering suara telepon memecah kegentingan malam itu. Seorang
pria kaukasian berbadan tegap dengan potongan rambut tipis mengangkat panggilan
berisik dini hari tersebut.
“hallo, officer Mark di sini”
“Hallo sir, Jakarta mau melapor sir” suara merdu perempuan
muda di ujung telepon yang mengaku dari Jakarta terdengar berbicara.
“Sebaiknya anda melapor hal yang baik nona, pukul 2 dini
hari di sini” Mark menjawab ketus, tak terpengaruh oleh suara merdu tersebut.
“Laporan intelejen operasi di PNG (Papua New Guenuea) baru
saja tiba sir, operasi itu berhasil sir semua subject sudah di lingkungan
teritorial PNG sir” perempuan itu terdengar ceria menceritakan keberhasilan
misi, dia harap berita baik ini menjadi penawar kekesalan officer Mark yang
mengangkat telepon di pagi buta.
“Sudah seharusnya seperti itu miss” dengan dingin Mark
kembali berkomentar
“Lakukan tindakan antisipasi, kemungkinan ‘mereka’ melakukan
tindakan penyelamatan”
“affirmative sir”
“klik” Mark menutup gagang telepon, setidaknya dia bisa
meneruskan sisa malam dengan tidur pulas di ruangannya, lantai dua markas besar
CIA.
Mark adalah petugas senior di
CIA, umurnya baru masuk kepala tiga dua bulan yang lalu. Setelah lulus dari
West Point (Akmilnya Amerika) dia sempat di tugaskan beberapa tahun di Timur
Tengah dan Afrika. Hingga akhirnya dia mendapatkan panggilan dari CIA badan
intelegen amerika, mengawasi pergerakan gangguan keamanan di Asia Pasifik,
khususnya Indonesia. Negara Kepulauan yang mulai menggeliat 50 tahun belakangan
ini.
Jakarta
Firman nampak lusuh dalam balutan kemeja birunya sore itu.
Suasana hatinya sedang kacau, sepertinya hari ini adalah hari terburuk dalam
kariernya. Betapa tidak dia mengawali pagi dengan hardikan dari seorang klien
penting di kantornya sendiri. Ditambah penolakan-penolakan yang yang dia terima
dari para petinggi Mahkamah Agung untuk mengakali pembebasan anak kandung
kliennya tersebut.
Firman adalah pengacara muda cemerlang, beberapa kasus
kejahatan yang dia tangani memberikan hasil memuaskan dalam setiap putusan
hakim bagi kliennya. Dia bahkan berhasil memotong masa tuntutan jaksa dari 20
tahun menjadi hanya lima tahun yang hakim voniskan, dalam kasus kepemilikan
narkoba seorang artis ibukota.
Keharuman namanya membuatnya direkrut menjadi pengacara
ketika anak salah seorang pejabat mancanegara berbuat ulah di Indonesia. Ya,
anak seorang duta besar Malaysia tertangkap tangan oleh Badan Narkotika
Nasional membawa 5 kilogram shabu-shabu. 5 kilogram, bayangkan. Jumlah yang
sangat besar bila hanya untuk seorang ‘pemakai’.
Indikasi hukum menyebutkan bahwa Riziq bin Malik adalah
pemain besar dalam peredaran narkotika di Indonesia. Dan perkara hukum ini
sangatlah berat, sehingga setiap jalur hukum yang sudah di tempuh dari banding
hingga kasasi dan akhirnya pengadilan tinggi tetap memutuskan bahwa Riziq tetap
di hukum mati.
Hingga akhirnya dia harus menempuh jalan kotor itu.
Sebenarnya dia sudah tahu jalan ini tidak akan berhasil. Karena di bawah
pemerintahan baru sekarang ini, setiap tindakan yang menjurus pada aksi rasuah,
korupsi, kolusi, nepotisme dan gratifikasi akan di hukum berat. Penguasa baru
ini memang dikenal paling disiplin dalam peningkatan penegakan hukum.
Seperti yang sudah disebutkan, upayanya menyuap beberapa
hakim agung terpental. Masih untung dia tidak diperkarakan. Dengan berat dia
mengetik hasil kerjanya dalam sebuah akun email dan mengirimkannya kepada Duta
besar Malaysia tersebut.
“your report, has been delivered. Dan aku dah selesai bacanya,
bila anakku harus mati maka para polisi BNN itu pun harus”
Pesan singkat dari nomor tidak
di kenal tiba-tiba datang tak lama setelah dia mengirimkan salinan laporan.
Membaca pesan itu Firman semakin pusing dan kepalanya tertunduk lesu di kursi
belakang sedan mewah.
bersambung