Jumat, 06 September 2013

Satu Bangsa



New York City Oktober 2073
Tangan pria kurus itu mengepal keras, sesekali mulutnya menyenandungkan do’a. Matanya tajam menelisik setiap baris tulisan rapi yang terpampang di tablet kecil, di ujung jemari tangannya. Hatinya gamang, namun mulutnya mantap untuk berucap.
“Biar dunia tahu kami bisa dan kami ada, jadikanlah Allah pelindung kami”
Pagi itu musim dingin terlalu cepat hadir di kota New York, USA.

Jakarta
Kemal nampak rapi dengan baju safari yang baru di setrika istrinya pagi itu. Sambil menunggu sarapan roti panggang matang, dia menyeruput kopi susu gurih kesukaannya. Matanya lekat menatap layar datar yang menyiarkan berita nasional.
“ini roti nya mas” seorang wanita muda datang menghampiri kemal dan membawa roti hangat
“Simpan dulu dik,” dia hanya berkata, pupil matanya tetap tertuju pada layar datar itu.
“wulan pagi ini berangkat sendiri saja ke sekolah, toh sepulang mengajar wulan mau membimbing anak kelas 6” wanita muda itu menambahkan.
“Apa sebaiknya mas antar saja, nanti mas jemput lagi” kali ini matanya mulai beralih beradu pandang dengan sosok istrinya tersebut. Kemal tidak tega membiarkan istri tercintanya yang sedang hamil tua, harus berjejalan dalam bis kota. Walaupun ia tahu wulan adalah seorang perempuan yang mandiri dan keras kemauannya.
“Tidak usah mas, mas kemal pasti sibuk dengan urusan itu kan?” mata wulan mengisyaratkan agar suaminya kembali memperhatikan siaran berita nasional tersebut.
“ya sudah, hubungi mas kalau ada kesulitan ya” pikiran Kemal kembali fokus dan terbenam dalam setiap ucapan pembawa siaran.

Jakarta
“Tak mungkin la ini terjadi, it should not be happpened” seorang pria berperawakan tambun berteriak dalam bahasa melayu english yang sangat kental.
“ Tak mungkin mereka berani bertindak seperti ni!” dia kembali berteriak, kali ini kopi hitam di ujung meja ikut bergetar karena tangannya menghantam meja.
Remote televisi kembali me rewind siaran berita nasional pagi itu
Terdengar nyaring suara televisi membahana ke setiap sudut ruangan.
“ Berkas kasus  pengedar obat-obatan terlarang yang tertangkap oleh BNN satu bulan yang lalu sudah dalam tahap akhir persidangan di pengadilan tinggi” seorang anchor cantik nampak berbicara.
“Putusan pengadilan tinggi memutuskan bahwa terdakwa Riziq bersalah dan mendapatkan vonis hukuman mati karena terbukti membawa 5 kg shabu-shabu siap edar” anchor cantik itu menambahkan.
“Dan Presiden secara resmi melalui juru bicaranya mengatakan bahwa beliau tidak akan memberikan grasi kepada pelaku kejahatan yang terbukti bersalah. Apalagi terpidana narkoba, terorisme serta korupsi” giliran pria muda kelimis menimpali siaran dari anchor wanita tersebut.
“ah sialan!!” pria tambun itu kembali memaki, suaranya semakin keras membahana di seluruh ruangan.
“Tenang lah Pak cik, it’s negotiable, Pak cik tahu lah negara ini. Selalu ada ‘lubang’ yang bisa kita sulam” seorang pria berkacamata tebal berani datang menghampiri, menenangkan pria tambun yang dia panggil Pak Cik itu.
“it is absolutely ur duty Firman!! You are a lawyer of mine!” pak cik itu malah semakin keras menghardik.
“iya tuan Malik, saya akan cari celah” Firman menjawab hardikan itu dengan suara parau, hampir tidak terdengar.

Jakarta
Kemal datang pagi itu ke kantornya agak siang, dia memutuskan untuk mengantarkan istrinya terlebih dahulu. Dia berpikir biarlah sekali di tegur atasan, toh dia sudah berprestasi kemarin-kemarin ini.
Kantor kemal adalah gedung berlantai 7 di bilangan jakarta pusat. Di depan gedung itu terbentang lebar nama kantor  “BNN” Badan Narkotika Nasional. Sebuah badan independen yang bertugas mengurusi dan menangani peredaran narkotika dan turunannya di republik ini. Setara dengan DEA di USA.
Setelah memarkirkan mobil, Kemal tergesa-gesa melewati pintu masuk kantor kebanggaannya ini. namun tiba-tiba,“AKP Kemal Hariadi, anda di panggil oleh Bapak di ruangannya” seorang resepsionis cantik segera menghampiri Kemal dan menyampaikan pesan padanya.
Kemal terperanjat, dia tidak menyangka urusan telat masuk seperti ini bisa langsung di ketahui komandan tertingginya di lembaga itu. Maklum, ketika resepsionis berkata ‘Bapak’, yang dia maksud adalah Kepala BNN itu sendiri. Tanpa banyak polah, Kemal langsung berlari menuju lift dan memencet lantai paling tinggi di gedung itu.
Sesampainya di lantai atas, dia langsung dipersilakan masuk oleh ajudan pribadi Kepala BNN.
“Bapak sudah menunggu Pak” anak muda berperawakan jangkung membukakan pintu untuk Kemal.
Di ujung ruangan tampak seorang pria sedang menunduk membaca beberapa berkas dan Kemal memberanikan diri untuk memulai percakapan.
“Siap Selamat Pagi Pak! AKP Kemal Hariadi mohon ijin untuk menghadap!” sikap tubuh yang tegap dia peragakan dengan sedikit meninggikan nada suara. Saat itu hatinya gaduh sekali membayangkan atasan tertingginya datang dan memaki keterlambatannya.
Pria itu memandang dan berkata “Selamat Kemal,,,!Tidakkah kau lihat berita pagi ini? Orang yang kau ciduk itu mendapat vonis mati oleh  pengadilan tinggi. Kerjamu tidak sia-sia perwira!”
Tak disangka, Irjen Pol Basuki Wiryawan yang juga kepala BNN malah berkata dengan suka cita, dia mengucapkan selamat atas vonis yang menimpa terdakwa pengedar shabu-shabu itu.
“Kerjamu bagus nak, teruskan. Ini akan menjadi kasus besar bagi republik ini, dan kita tidak pernah tahu akan mengarah kemana selanjutnya” kali ini tatapan jenderal bintang dua itu menerawang jauh melewati batas jendela.
“Siap pak, ini berkat petunjuk dan bimbingan komandan” Dengan menyembunyikan rasa lega, kemal bicara tanpa mengubah intonasi ucapan, tetap dengan postur tegak dan perwira.

Somewhere in Papua
Di sebuah hutan lebat tanpa cahaya di ujung timur Indonesia. Hutan hujan tropis yang rimbun, tempat para pohon tinggi berebut membentuk gurun. Enam orang laki-laki mengendap ngendap bagaikan macan, tanpa suara. Muka mereka legam oleh arang hitam bekas perapian saat sarapan pagi. Salah seorang dari mereka perwira paling senior menunjukkan aba-aba untuk berhenti berjalan.
“Buka peta dan bongkar alat navigasi lakukan resection dimana kita berada sekarang” ia memberi perintah lugas pada salah satu bawahannya.
“Albert, Deni, Greg, dan Rido, berpencar dengan jarak radius 10 m. Jaga perimeter di empat penjuru mata angin, laksanakan!” dia menambahkan perintah pada keempat prajurit sisanya.
“Laksanakan kapten!” dalam hitungan detik mereka sudah lenyap dari hadapan sang kapten.
Kapten itu adalah satu-satunya perwira dalam kelompok kecil tersebut, ia bernama Kapten Ridwan Siahaan. Mereka semua sudah berjalan hampir sembilan jam sejak matahari terbit. Tanpa lelah mengendus setiap petunjuk dan mencatat setiap isyarat. Mereka adalah kesatuan kecil dari pasukan khusus  TNI angkatan darat (KOPASSUS) yang ditugaskan membebaskan tawanan anggota TNI  dan 5 warga negara amerika yang telah di culik oleh gerombolan orang tak dikenal.
“Siap kapten lapor!”  Letda Hambali petugas yang diberi perintah untuk mengetahui posisi mereka memulai percakapan.
“Bagaimana Ham?” Kapten Ridwan bertanya tentang hasil pekerjaan Hambali
“Dari GPS posisi kita sudah terlalu jauh dari perbatasan dengan PNG (Papua New Guenuea), sekitar 5 kilometer dari tapal batas NKRI kapten” dengan tegas dan informatif letnan dua kopasus itu menjelaskan posisi pasukan kecil ini.
“Sial, harusnya aku tahu sejak kita melewati lembah dalam pukul 11 siang tadi itu” Kapten Ridwan mengutuk dirinya sendiri atas kecerobohannya itu.
Hutan lebat ini memang seharusnya dia kenali seperti dia mengenali halaman belakang rumahnya sendiri. Beberapa latihan militer sering dilakukan di hutan hujan papua ini, rentetan operasi militer pun selalu sukses dilaksanakan, bahkan sejak mengikuti pendidikan pasukan khusus dia mendapatkan wing penerjun di kawasan ini. Dia sempat “dibuang” sendiri di atas rimba papua dan nyatanya masih bernyawa kembali ke Jakarta.
“Perimeter! Kembali ke sini!” melalui radio komunikasi Kapten Ridwan meminta semua anggota yang menjaga perimeter kembali pada posisinya.
Setelah semua anggota kelompok kecil berkumpul, dia segera memberikan perintah yang mengejutkan.
“Buka semua atribut pasukan khusus, tinggalkan SS2 V5 (senapan serbu organik kopassus), setiap orang hanya membawa handgun  amunisi seperlunya, dan pisau komando”
Semua orang saling berpandangan dan menatap bertanya-tanya tentang perintah diluar kewajaran komandan mereka.
“Laksanakan!” dengan tegas Kapten Ridwan menyuruh anak buahnya melakukan setiap perintahnya
“laksanakan komandan!” mereka segera melucuti setiap atribut dalam tubuh mereka. lalu menanggalkan seragam loreng darah ciri khas kopassus, dan beberapa senapan serbu. Hanya berbalut kaus cokelat serta celana loreng yang sengaja dipotong tigaperempat, bahkan sepatu lars tinggi ditinggalkan.
“Kita jauh berada di belakang garis musuh, operasi ini lebih rumit dari yang kita duga” berbisik kapten muda itu menghembuskan penjelasan.

Langley, Virginia Markas Besar CIA
Dering suara telepon memecah kegentingan malam itu. Seorang pria kaukasian berbadan tegap dengan potongan rambut tipis mengangkat panggilan berisik dini hari tersebut.
“hallo, officer Mark di sini”
“Hallo sir, Jakarta mau melapor sir” suara merdu perempuan muda di ujung telepon yang mengaku dari Jakarta terdengar berbicara.
“Sebaiknya anda melapor hal yang baik nona, pukul 2 dini hari di sini” Mark menjawab ketus, tak terpengaruh oleh suara merdu tersebut.
“Laporan intelejen operasi di PNG (Papua New Guenuea) baru saja tiba sir, operasi itu berhasil sir semua subject sudah di lingkungan teritorial PNG sir” perempuan itu terdengar ceria menceritakan keberhasilan misi, dia harap berita baik ini menjadi penawar kekesalan officer Mark yang mengangkat telepon di pagi buta.
“Sudah seharusnya seperti itu miss” dengan dingin Mark kembali berkomentar
“Lakukan tindakan antisipasi, kemungkinan ‘mereka’ melakukan tindakan penyelamatan”
“affirmative sir”
“klik” Mark menutup gagang telepon, setidaknya dia bisa meneruskan sisa malam dengan tidur pulas di ruangannya, lantai dua markas besar CIA.
Mark adalah petugas senior di CIA, umurnya baru masuk kepala tiga dua bulan yang lalu. Setelah lulus dari West Point (Akmilnya Amerika) dia sempat di tugaskan beberapa tahun di Timur Tengah dan Afrika. Hingga akhirnya dia mendapatkan panggilan dari CIA badan intelegen amerika, mengawasi pergerakan gangguan keamanan di Asia Pasifik, khususnya Indonesia. Negara Kepulauan yang mulai menggeliat 50 tahun belakangan ini.

Jakarta
Firman nampak lusuh dalam balutan kemeja birunya sore itu. Suasana hatinya sedang kacau, sepertinya hari ini adalah hari terburuk dalam kariernya. Betapa tidak dia mengawali pagi dengan hardikan dari seorang klien penting di kantornya sendiri. Ditambah penolakan-penolakan yang yang dia terima dari para petinggi Mahkamah Agung untuk mengakali pembebasan anak kandung kliennya tersebut.
Firman adalah pengacara muda cemerlang, beberapa kasus kejahatan yang dia tangani memberikan hasil memuaskan dalam setiap putusan hakim bagi kliennya. Dia bahkan berhasil memotong masa tuntutan jaksa dari 20 tahun menjadi hanya lima tahun yang hakim voniskan, dalam kasus kepemilikan narkoba seorang artis ibukota.
Keharuman namanya membuatnya direkrut menjadi pengacara ketika anak salah seorang pejabat mancanegara berbuat ulah di Indonesia. Ya, anak seorang duta besar Malaysia tertangkap tangan oleh Badan Narkotika Nasional membawa 5 kilogram shabu-shabu. 5 kilogram, bayangkan. Jumlah yang sangat besar bila hanya untuk seorang ‘pemakai’.
Indikasi hukum menyebutkan bahwa Riziq bin Malik adalah pemain besar dalam peredaran narkotika di Indonesia. Dan perkara hukum ini sangatlah berat, sehingga setiap jalur hukum yang sudah di tempuh dari banding hingga kasasi dan akhirnya pengadilan tinggi tetap memutuskan bahwa Riziq tetap di hukum mati.
Hingga akhirnya dia harus menempuh jalan kotor itu. Sebenarnya dia sudah tahu jalan ini tidak akan berhasil. Karena di bawah pemerintahan baru sekarang ini, setiap tindakan yang menjurus pada aksi rasuah, korupsi, kolusi, nepotisme dan gratifikasi akan di hukum berat. Penguasa baru ini memang dikenal paling disiplin dalam peningkatan penegakan hukum.
Seperti yang sudah disebutkan, upayanya menyuap beberapa hakim agung terpental. Masih untung dia tidak diperkarakan. Dengan berat dia mengetik hasil kerjanya dalam sebuah akun email dan mengirimkannya kepada Duta besar Malaysia tersebut.
“your report, has been delivered. Dan aku dah selesai bacanya, bila anakku harus mati maka para polisi BNN itu pun harus”
Pesan singkat dari nomor tidak di kenal tiba-tiba datang tak lama setelah dia mengirimkan salinan laporan. Membaca pesan itu Firman semakin pusing dan kepalanya tertunduk lesu di kursi belakang sedan mewah.

bersambung

Selasa, 03 September 2013

seberapa bernilai dirimu

Matahari berpendar riang siang itu, melotot memancarkan keceriaan tak bertepi bagi bumi.
Mengawali siang, aku berjalan gontai melalui selasar tembok putih bertiang kayu di rumah sakit.
Rutinitas yang semakin akrab dengan irama hidupku selepas lulus dari pendidikan.
Beberapa wajah lama masih meringis kesakitan tertidur di atas ranjang lusuh, ditambah wajah-wajah penghuni baru yang penuh harap.
Rautku masih sama, tak berubah, tidak ikut lusuh seperti mereka, pun tidak memberi pengharapan berlebih kepada mereka.
Aku ingin wajahku sesimetris mungkin dalam membagi antara perasaan empati dan logika berpikir sebagai seorang profesional.

Aku hempaskan badanku yang kurasa semakin kurus akhir-akhir ini, terbukti dengan sakitnya tulang ekorku menyentuh kursi kayu tanpa ada bantalan pantat yang cukup di sana.
Sebotol air mineral dingin berembun kusambar dan tandas seketika. Tumpukan kertas rekaman medis "tengadah" di meja nurse station, seorang perawat sudah selesai mencatat semua pekerjaannya disana, giliranku sekarang.
Satu-satu catatan medis itu aku baca, mulai dari kronologis seorang pasien sesak nafas sampai angka hitung enzim hati yang di minta seorang internist. Beralih pada setiap pasien, beralih pada setiap masalah, tepekur mencari bunyi peristaltik atau malah tersungkur karena tak mampu mendapatkan gambaran udara bebas pada foto rontgen.
Aku menulis beberapa hasil pemeriksaanku di atas kertas-kertas itu dan beberapa terapi serta saran pemeriksaan sesuai kebutuhan. Semua serba diperhitungkan dalam pekerjaan ini, dari tetesan infus yang tidak seharusnya dijadikan permainan oleh keluarga pasien, sampai dosis obat puyer untuk anak. 
Tiba-tiba seorang perawat berlari bergegas ke arahku,
“Pasien anak X tak sadar, gusinya berdarah, tolong dilihat ”
Aku tercekat, memang belum semua pasien aku lihat siang itu, karena semua ada jatahnya saat aku berkeliling. Segera kurapikan catatan medis dan beranjak pergi mengikuti perawat tersebut.
Pasien anak dengan keadaan syok (keadaan turunnya curahan darah pada jaringan tubuh secara drastis dan merupakan suatu kegawatan) akibat demam berdarah. Setelah kuperiksa seksama dan secepatnya kutelpon penanggung jawab atas pasien tersebut, seorang pediatrician (dokter anak). Advis beliau sangat rinci dan salah satunya adalah memberikan perawatan intensif dan observasi ketat pada pasien tersebut, dengan kata lain harus masuk PICU (Pediatric Intensive Care Unit).
Sembari kukerjakan instruksi yang lain, aku meminta tolong pada perawat untuk menelepon PICU untuk menyiapkan ruangan bagi anak ini. Terburu-buru aku mendatangi orangtua anak tersebut menjelaskan detail kondisi anak mereka dan memberitahukan apa yang harus dikerjakan termasuk dialihrawatkan ke ruangan PICU, dimana keluarga akan sangat dibatasi untuk menjenguk, dan dimana biaya perawatan lebih tinggi daripada bangsal biasa. Terlepas orang tua anak itu mampu atau tidak, terlepas dari kebijakan pemerintah dalam jaminan kesehatan masyarakat, dan terlepas dari kebijakan administrasi rumah sakit, kondisi pasien itu HARUS masuk dalam ruang perawatan intensif.
Orang tua bersedia dan aku akan mulai menyiapkan pasien, namun tiba-tiba ada berita bahwa PICU tidak ada yang kosong. Semua full, bahkan rumah sakit sekota itu tidak ada ruangan intensif yang kosong.
Aku terduduk lemas, keringat dingin mengalir dari leher sampai punggungku. Kemungkinan lain adalah merujuk pasien ini ke ibukota provinsi, tapi sayang orang tua pasien nampaknya tidak sebersemangat aku dalam keputusan ini. Mereka lebih memilih menunggu sampai ada salah satu dari penghuni PICU di sini pulang ke bangsal perawatan biasa, pulang sehat ke rumah, atau “pulang” ke rumah Tuhan. Mereka tidak mengerti bahwa masalah “pulang” ini, buah hati mereka pun sedang dalam perjalanan itu.
Beranjak aku pergi melihat sendiri kondisi PICU saat itu, ya semua bed terisi pasien dan semua sudah pasti kritis. Aku memang tidak sampai diberi tanggung jawab untuk mengeluarkan salah satu pasien dari ruangan itu, karena setiap pasien memiliki dokter penanggung jawab masing-masing. Hanya saja andai aku memiliki kewenangan, bisa memilih mana yang boleh keluar dan mana yang silahkan masuk akan sangat teramat berat bagiku untuk melaksanakannya.
Sesaat aku teringat film Tom Hank  “Saving Private Ryan” bercerita tentang satu grup komando pergi menembus garis pertahanan musuh hanya untuk menyelamatkan seorang prajurit muda bernama Ryan. Prajurit, ya hanya seorang prajurit bukan seorang jenderal. Karena itu perintah langsung dari Gedung putih maka Tom Hank (kapten Miller) dan para prajurit lain bergegas pergi menyelematkan Ryan, banyak yang gugur dalam tugas tersebut hanya untuk seorang prajurit.  kapten Miller berkata This Ryan better be worth it. He'd better go home and cure some disease or invent a longer-lasting lightbulb or something. 'Cause the truth is, I wouldn't trade ten Ryans for one Vecchio or one Caparzo.” Vecchio dan Caparzo adalah prajurit yang gugur dalam tugas tersebut.
Ya walaupun tidak persis sama, batinku tiba-tiba terpikir kisah tersebut, semua yang terbaring di sini adalah anak-anak, dan yang akan masuk pun anak-anak. Aku tidak bisa melangkahi Tuhan tentang apa yang akan mereka lakukan setelah mereka seusiaku nanti, setelah mereka sembuh nanti. Apa akan menyia-nyiakan kehidupan yang sangat berat dia peroleh ketika kesakitan saat ini. Yang pada dasarnya mereka semua berhak mendapatkan pelayanan ini.
Lamunanku lalu berpikir jauh, teramat jauh menembus bayangan  kedua orangtuaku, kepada setiap orang yang ku ambil kesempatannya, kesempatan apapun itu. Aku berdiri saat ini, berpikir apakah aku layak hidup? Menghirup dua partikel oksigen semauku, memandang setiap bentang alam dan ciptaan Tuhan, mendengar melodi indah atau raungan menyayat hati, mengecap manisnya gula meringis asamnya cuka, mengaduh ketika terantuk batu, atau terlelap menikmati nikmatnya malam?
Apakah aku sudah seperti yang diharapkan orang tuaku? Seperti yang di inginkan orang-orang di sekelilingku? Sementara mungkin diantara anak-anak yang tergeletak di sini, ataupun jauh tergolek di benua lain, mereka bisa berjuang lebih kuat dan berkarya lebih hebat dari aku?
Ismaya akhir agustus 13

kemanakah kita harus berobat



Kemanakah kita harus berobat?
Seorang wanita muda tampil dilayar kaca dengan wajah berseri dan mengucapkan terima kasih pada salah satu klinik TCM (Traditional Chinese Medicine). Wanita itu menyebutkan dalam testimoninya bahwa ia sembuh dari penyakit kanker payudara stadium akhir. Ya, itu adalah salah satu cuplikan iklan salah satu klinik TCM , dulu heboh tayangan iklan tersebut di layar kaca, dan beberapa media cetak juga tak kalah tanggap ikut mempublikasikan. Bahkan saking seringnya muncul dalam televisi penonton jadi jengah, hingga akhirnya terus memperolok tayangan iklan tersebut menjadi gurauan sehari-hari.
Pada pertengahan 2012 marak gembar-gembor klinik yang menyatakan melakukan pengobatan herbal dari cina, dan memberikan janji manis bagi para calon pasien. Mereka tidak segan keluar banyak uang untuk promosi di media-media baik cetak maupun elektronik. Jangan salah, banyak masyarakat yang terpancing untuk mengikuti program terapi yang ditawarkan jasa klinik alternatif  itu.
Seperti yang kita tahu, dalam beberapa testimoni bekas pasien klinik tersebut  mengatakan bahwa mereka sembuh dari beberapa penyakit yang sulit untuk disembukan, bahkan belum ada obatnya dengan jalur medis (misal kanker stadium lanjut dan diabetes mellitus (gula darah)). Pasien-pasien ini diberikan harapan yang sangat tinggi untuk kesembuhan penyakit yang mereka derita. Hal ini memberikan ekspektasi yang berlebihan dari pasien, dan banyak orang-orang berbondong untuk mengunjungi klinik herbal tersebut. Meraka hanya sekedar mencoba peruntungan, hingga menyerahkan sepenuhnya nasib penyakit mereka.
Fenomena seperti ini selalu tumbuh subur di negara kita yang notabene masih kental tata budaya timur, termasuk budaya kesehatan (medicinal culture). Budaya kesehatan yang berdasarkan pengalaman empirik (empirical evidance) tanpa didasari teori yang mumpuni apalagi data dan fakta pada bukti penelitian (evidance base medicine). Banyak cerita, misal jari seorang petani  berdarah ketika sedang menyabit rumput di sawah, lalu ia mengunyah pucuk daun singkong dan menempelkannya pada jari yang berdarah, ia menunggu beberapa menit dan perdarahannya berhenti. Ya, dengan sedikit peruntunganpetani tersebut menemukan tanaman obat untuk menghentikan perdarahan. Maka berdasarkan pengalamannya, segala jenis luka yang bercucuran darah, pertolongan pertamanya adalah daun singkong yang dikunyah, tanpa melihat bagaimana cara si daun singkong bisa menghentikan perdarahan, apalagi sampai jauh menghitung jumlah perdarahan atau lebar dan dalam luka.
Dalam budaya akademis, untuk menentukan suatu obat atau terapi bisa diberikan pada manusia sangatlah rumit. Dimulai dari pemantapan teori tentang farmakologi obat (farmakodinamik dan farmakokinetik), tes pada hewan coba, hingga akhirnya ada clinical trial pada manusia. Semua proses dijalani dengan ketelitian yang sangat tinggi dan kejelian yang harus bisa dipertanggungjawabkan. Namun budaya empirical evidance ini terlalu sering memotong jalur yang harus dilakukan tersebut, selalu melihat hasil tanpa menganalisis proses.
Penulis  mencoba melihat fenomena yang terjadi ini dari tiga sudut pandang, dari dokter seorang klinisi, sudut pandang pemerintah yang membuat regulasi, dan masyarakat selaku konsumen produk-produk kesehatan.
1.Dokter
Seorang dokter kadang mewakili beberapa profesi bidang lain ketika berhadapan dengan pasien yang berbeda-beda. Menjadi seorang guru  misalnya. Dokter dituntut harus bisa menjelaskan secara terperinci kondisi kesehatan pasien, hingga pasien mengerti apa yang sedang dihadapinya, bahkan bila perlu digambarkan anatominya, diperringkas teorinya agar pasien yang awam akan penyakit bisa mengerti.
Haftel, Lypson  dari University of Michigan Health System pada 2008 menyebutkan ada dua pengharapan pasien kepada dokter. Pertama yaitu harapan utama (primary expectasion)  tentang kompetensi dokter (tentunya pasien sudah mengerti bila membawa ibu hamil ya ke dokter kandungan bukan ke dokter kulit) dan harapan sekunder (secondary expectasion)  yaitu profesionalitas, menghormati pasien, sopan santun, ketulusan dalam menolong, menarik, dan yang paling penting adalah memiliki kemampuan komunikas verbal dan non verbal yang baik.
Primary expectasion, tentang kompetensi dokter, sekarang sudah banyak cabang ilmu spesialis bahkan subspesialis yang saling mengembangkan kemampuan akademik dan skill masing-masing yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hingga harapan hidup pasien. Ini merupakan harga mati bagi para klinisi agar senantiasa meng up-grade ilmu yang dimiliki dengan ilmu baru hasil penelitian. Karena pasien berharap pengobatan dan terapi yang diberikan adalah terapi maksimal yang dapat membantu meringankan penderitaan bukan malah menambah beban. Maka dari itu pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan mengeluarkan Permenkes NO 1419 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter & Dokter Gigi dan ditambah dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia no 1 tahun 2005 tentang registrasi dokter dan dokter gigi, yang menyatakan bahwa izin praktik dapat diberikan kepada seorang dokter setelah mendapatkan sertifikat lulus uji kompetensi . Peraturan itu memaksa para calon dokter memenuhi kompetensi sebagai klinisi sebelum akhirnya diterjunkan di masyarakat.
Pada secondary expectasion terdapat poin komunikasi. Seorang dokter harus mampu berkomunikasi dengan baik, dan  menyampaian  penjelasan seterang mungkin  akan keadaan pasien. Harus dijelaskan pula terapi yang akan diberikan, serta prognosa penyakit, hal ini membuat pasien mantap dalam pengambilan keputusan. Pasien terkadang hanya mendapat potongan-potongan  kecil tentang informasi kesehatannya. Maka dari itu tidak salah bagi pasien untuk mencari opini kedua (second opinion) berkaitan dengan kondisi penyakitnya. Selama pasien berkonsultasi pada sesama klinisi hal ini lumrah bila ada beberapa kelainan argumen, karena para klinisi tersebut berpegang pada teori dan penelitian yang sudah divalidasi.
 Sangat disayangkan ketika pasien beranggapan bahwa seorang dokter tidak kompeten dalam bidangnya karena komunikasi yang buruk antara pasien dan dokter. Misalnya dokter tersebut dianggap tidak mengerti kondisi pasien disebabkan sedikiti sekali penjelasan yang diterima dari komunikasi dengan dokter. Sehingga dapat dimafhumi bila banyak pasien berbondong-bondong bergegas menelepon salah satu klinik herbal yang katanya dapat menyembuhkan kanker stadium lanjut.
2. Pemerintah
Dalam laporan majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2013 pada rubrik tempo investigasi  meliput tentang salah satu klinik TCM yang sudah memiliki banyak cabang di Indonesia. Liputan itu berjudul  “Iming-iming palsu Klinik Harapan”, pada awal paragraf menceritakan tentang kegetiran keluarga pasien yang merasa tertipu oleh harapan yang diberikan salah satu klinik  TCM. Kisah lain pada paragraf selanjutnya diteruskan dengan seorang pasien yang rela menjadi bintang iklan dan memberikan testimoni tentang klinik tersebut, ironisnya pasien meninggal sehari sebelum iklan itu tayang di televisi.
Rubrik Tempo Investigasi itu menemukan banyak keganjalan pada terapi yang diberikan oleh sinse dari klinik tersebut. Kesalahan yang paling fatal adalah pemberian obat-obatan kemoterapi pada pasien tanpa didampingi oleh tenaga ahli berkualifikasi, dan pemberian obat-obatan kimia lainnya (seperti ditemukannya cairan infus intravena dan sediaan obat dalam bentuk ampul). Terlebih klinik ini juga memberikan obat yang bernama Cinobufutalin, yaitu ekstrak kulit katak beracun yang berfungsi sebagai  painkiller  yang lebih efektif 200 kali dari morfin! Hal ini jelas-jelas melanggar keputusan menteri kesehatan NO 1076 tahun 2003 yang isinya melarang pusat pengobatan tradisional menggunakan obat modern, obat keras dan psikotropika.
WHOsebagai kiblat regulasi kesehatan masyarakat dunia tidak secara gamblang memberikan peraturan yang jelas. WHO memberikan sepenuhnya aturan dan regulasi tentang pengobatan tradisonal pada pemerintah masing-masing. Menurut data WHO hampir 80% penduduk Asia dan Afrika tergantung pada obat traditional pada pelayanan kesehatan primer. Sehingga sebenarnya pengakuan akan obat-obat alternatif sudah ada namun harus tetap berpihak pada keamanan pasien.
Lalu dimanakah pemerintah kita? Bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap pengobatan tradisional?  Sebenarnya keberadaan pengobatan tradisional sudah diakui pemerintah melalui keputusan menteri kesehatan RI NO 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional. Di sana sudah diatur tentang siapa yang berhak memberikan terapi dan jenis terapi apa yang hanya bisa diberikan oleh klinik tradisional.
Namun dalam prakteknya pemerintah seakan menutup mata akan keberadaan klinik tradisional yang menyimpang tersebut. Dari mulai advertisment yang terlalu berlebihan dan muluk, hingga penyelewengan yang terjadi selama proses pengobatan. Banyak instansi terkait dari pemerintah yang berkewajiban menertibkan hal  ini. Dari komisi penyiaran indonesia sampai tingkat kementerian kesehatan republik indonesia.
Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan menyimpang dari klinik-klinik tersebut. Ketika seorang dokter atau rumah sakit bisa di dakwa karena tindakan yang merugikan pasien (bahkan tindakan itu tidak diinginkan dokternya) seharusnya masyarakat berhak untuk menuntut pelanggaran yang dilakukan oleh klinik tradisional tersebut.
Permasalahan lain timbul, karena surat keputusan tersebut tidak mengatur tentang pengobatan dengan metoda supranatural atau metafisika. Jadi bisakah pasien menuntut jin atau hantu yang menjanjikan kesembuhan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan?
3. Pasien
 Subjek yang paling menentukan dalam status kesehatannya adalah pasien itu sendiri, tentunya selama pasien dalam keadaan sadar dan bisa memutuskan dengan pertimbangan sendiri (berbeda dengan pasien anak, pasien gangguan jiwa atau pasien dengan penurunan kesadaran). Masalahnya pasien tidak tahu apa yang terbaik untuk kondisi kesehatan yang dihadapinya dan cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada penyedia pelayananan kesehatan.
Dalam sebuah analisis kebijakan yang dikeluarkan oleh WHO tahun 2008 yang berjudul ‘Where Are the Patients in Decision Making About Their Own Care’ dibahas mengenai sejauh mana hubungan tingkat pengetahuan pasien akan kesehatan dengan keputusan yang akan diambil. Ternyata pengetahuan memberikan kemantapan bagi pasien dalam menentukan tindakan bagi status kesehatannya. Dalam analisis kebijkan tersebut WHO menyebutkan bahwa pasien harus berperan aktif dalam menghadapi penyakitnya dengan health literacy, shared decision making and self management of chorinc condition (Melek kesehatan, berbagi keputusan tentang treatment yang akan diambil, dan memahami kondisi kronis yang telah menimpa)
Minimnya pengetahuan pasien tentang kondisi kesehatannya menyebabkan mereka terkadang tidak berpikir panjang. Mudah terbujuk dengan janji-janji dan harapan yang diberikan, membuat pasien selalu bertindak “apapun itu asal yang terbaik dan sembuh”. Sebenarnya hakikat sembuh dan menyembuhkan adalah milik Tuhan, dokter, tabib atau sinse hanya membantu meringankan beban, tidak ada garansi seratus persen sembuh.
Dengan tidak bermaksud membunuh harapan pasien akan kesembuhan, namun bila kita mengetahui bahwa ‘misal kanker stadium empat dengan metastase ke berbagai organ maka perawatannya adalah perawatan paliatif (perawatan pasien stadium akhir, agar pasien memiliki kualitas hidup yang baik di akhir hidupnya)’. Namun, dengan iklan yang terlalu memberikan iming-iming janji manis akan kesembuhan, saya yakin berapapun dana yang diminta pasti diberikan selama pasien dan keluarga mampu. Hal ini akan menempatkan pasien dengan minimnya pengetahuan menjadi sapi perah klinik yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Sebenarnya seperti yang sudah tercantum di atas, bahwa sehat dan sakit hakikatnya adalah hak preogratif Tuhan, orang meninggal pun atas kehendak-Nya bisa dihidupkan kembali. Dokter, tabib, sinse hanya perantara. Namun alangkah baiknya bila kita sebagai perantara menguasai ilmu dengan baik hingga akhirnya memberikan pengobatan yang terbaik.
Pasien pun berhak memilih perantara mana yang terbaik, toh selama sembuh pasien tidak akan mempermasalahkan metode dan cara. Dengan tuntutan memperbaharui ilmu yang berkelanjutan bagi para dokter, dan regulasi sistem kesehatan oleh pemerintah yang melindungi pasien serta peningkatan taraf pendidikan dan pengetahuan masyarakat akan kesehatan diharap membuat pasien mantap memutuskan kemanakah meraka harus berobat.


Tulisan lama dengan topik lama..mudah2an masih bermakna..

Rabu, 20 Februari 2013

Perkenalan

Hanya satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Seorang Praktisi Kesehatan, masih dan akan terus dalam proses belajar..